Oh ibu, usiaku sudah lanjut, namun belum datang seorang pemuda
pun meminangku. Apakah aku akan menjadi perawan seumur hidup?”.
Kira-kira begitulah keluhan seorang gadis Mekah yang berasal dari Bani
Ma’zhum yang kaya raya. Mendengar keluhan si anak, ibunya lantas kalang
kabut untuk mencarikan jodoh buat puterinya. Berbagai ahli nujum dan
dukun ditemuinya. Ia tidak perduli berapa banyak uang yang harus
dikeluarkan, yang penting anaknya segera dapat jodoh.
Namun, sayang usaha si ibu sia-sia. Janji-janji sang dukun cuma
bualan belaka. Sekian lama menunggu jejaka,tetapi yang ditunggu tidak
pernah kunjung tiba. Melihat keadaan itu, gadis Bani Ma’zhum yang
bernama Rithah al-Hamqa menjadi semakin bermuram durja. Tidak ada
kerjaan lain yang diperbuat, kecuali berdiri di depan cermin sambil
terus bertanya, “Mengapa sampai hari ini tidak kunjung datang seseorang
yang akan menikahiku?”
Akhirnya… penantian panjang Rithah yang telah lanjut usia pun
berakhir. Ia bertemu jejaka tampan, lalu mereka menikah. Tetapi,
kesediaan jejaka tampan namun miskin tersebut menikahi Rithah ternyata
hanyalah menginginkan kekayaan Rithah yang melimpah. Ketika si jejaka
telah berhasil menggunakan sebagian harta Rithah, dia pun pergi tanpa
pesan.
Dan kini tinggallah Rithah seorang diri, menangisi kepergian
suami yang entah dimana. Kesedihan dan kemurungannya pun dilampiaskannya
dengan membeli beratus-ratus gulung benang untuk ditenun. Setelah jadi
hasil tenunannya, wanita itu mengurai kembali menjadi benang. Lalu ia
tenun lagi dan ia urai lagi terus secara berulang-ulang hingga di
sisa-sisa hidupnya.
***
Kisah Rithah al-Hamqa, gadis Bani Ma’zhum tersebut memang
mengharukan. Di ujung penantiannya yang panjang tentang jodoh- akhirnya,
setelah mendapatkan jodoh–, ternyata seiring dengan berjalannya waktu
harus berakhir dengan kenistapaan. Sungguh ironi. Sampai-sampai kisah
tersebut diabadikan dalam Al Qur’an Surat An Nahl ayat 92, “Dan
janganlah kamu seperti perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah
dipintal dengan kuat menjadi bercerai-berai kembali…”
Bertolak dari kisah Rithah al-Hamqa inilah kita akan mengurai lebih
dalam persoalan jodoh. Dan kisah Rithah ini mengajarkan kita banyak hal.
Diantaranya, bahwa jodoh mutlak urusan Allah Swt. Jodoh tidak dapat
dihindari kehadirannya manakala kita belum menginginkannya. Atau
sebaliknya. Jodoh juga tidak dapat dikejar,manakala kita sudah sangat
ingin memilikinya. Bila saatnya tiba, pasti akan datang.
Demikianlah jodoh. Keberdayaannya tetap menjadi rahasia Allah Swt
semata dan tetap tertulis jauh sebelum kita hadir di muka bumi ini.
Rasulullah Saw telah bersabda : “Ketika ditiupkan ruh pada anak
manusia tatkala ia masih di dalam perut ibunya sudah ditetapkan ajalnya,
rezekinya, jodohnya dan celaka atau bahagianya di akhirat”. Jika
demikian, tak bijak rasanya jika kita terlalu larut dalam kekhawatiran,
merisaukan sesuatu yang masih rahasia dan tak seorang pun ada yang tahu.
Dan segala sesuatu yang telah menjadi ketetapan Allah Swt, maka tidak
ada satu pun makhluk yang mampu merubahnya. Termasuk soal jodoh. Ia
tidak akan pernah tertukar atau diambil orang lain.
Kisah Rithah al-Hamqa juga mengajarkan kita bagaimana menumbuhkan
kesabaran diri dalam menggapai cita-cita. Kesabaran yang diwujudkan
dalam seluruh sikap dan pengharapan hanya kepada Allah Swt. Bukan kepada
yang lain. Karena hanya kepada Allah Swt-lah semua dalam kuasa-Nya.
Adalah sebuah kesalahan besar bila kita menyandarkan segala urusan
kepada selain Allah Swt. Karena semua akan berbatas. Dan cara-cara yang
dilakukan ibu Rithah al-Hamqa mendatangi ahli nujum dan dukun untuk
mengupayakan kedatangan jodoh bagi anaknya, adalah kekeliruan. Malah
sebuah kesyirikan besar. “Jarak” kita dengan Allah Swt begitu dekat,
maka kenapa kita tidak memohon kepada-Nya? “Dan apabila hamba-Ku bertanya tentang Aku, maka jawablah Aku dekat. Aku mengabulkan doa orang-orang yang berdoa kepada-Ku…” (QS. Al Baqoroh:186).
Bukan hanya itu, langkah keliru Rithah al-Hamqa dan ibunya tersebut
menjadi simbol ketidaksabaran manusia atas keinginan diri. Sebuah
kekeliruan yang pada akhirnya justru mengantarkannya ke jurang kerisauan
sekaligus kesalahan yang lebih dalam. Bukankah Allah Swt telah
berfirman dalam Al Qur’an Surah Al Baqarah ayat 45, “Dan jadikanlah
sabar dan sholat sebagai penolongmu, sesungguhnya yang demikian itu amat
berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu’, yaitu orang-orang yang
meyakini bahwa mereka akan menemui Rabbnya, dan mereka akan kembali
pada-Nya.”
Pernyataan dari Allah Swt melalui Surat Al Baqarah ayat 45 dan 186
tersebut menjadi indikasi betapa “kedekatan” kita dengan Allah Swt yang
diwujudkan dalam bentuk ketakwaan dan kelurusan hati serta sikap seperti
yang Rasulullah Saw contohkan melalui risalahnya, akan menjamin
terkabulkannya pengharapan kita. Setidaknya, akan menjauhkan diri kita
dari segala bentuk praktik kehidupan yang menyalahi aturan Allah Swt.
Kemurnian akidah terjaga dan kelurusan niat untuk menikah pun tak akan
goyah.
Dan Allah Swt tidak akan mungkin mengingkari janji. Dalam sebuah
hadits riwayat Abu Dawud, Tarmidzi, dan Ibnu Majah, Rasulullah Saw
bersabda tentang masalah doa, “SesungguhnyaAllah malu terhadap seseorang yang menadahkan tangannya berdoa meminta kebaikan kepada-Nya, kemudian menolaknya dalam keadaan hampa.” Maka,
sudah jelas jika dengan intensnya “komunikasi” vertikal kita kepada
Allah Swt akan berbuah pada dikabulkannya doa atau pengharapan kita.
Kisah gadis Bani Ma’zhum juga memberikan nasihat, bahwa jodoh
merupakan amanah Allah Swt. Dan akan diembankan pada kita pada masa yang
tepat. Nah, barangkali jika saat ini kita belum mendapatkan
jodoh,lantaran oleh Allah Swt kita belum dinilai sanggup dan mampu
mengemban amanah itu. Jika demikian, bersangka baik (husnudzon)
kepada-Nya adalah sikap yang terbaik. “Boleh jadi kamu mencintai sesuatu
padahal sesuatu itu amat buruk bagimu, dan boleh jadi kamu membenci
sesuatu, padahal itu amat baik bagimu. Kamu tidak mengetahui sedangkan
Allah Maha Mengetahui.” (QS. Al Baqarah:216).
Jodoh dan Kedewasaan Diri
Kisah Rithah al-Hamqa bisa menjadi cermin betapa jodoh itu serasa
ringan diucap, tapi rumit dalam realita. Pun demikian, sebenarnya semua
lebih bergantung pada tingkat kedewasaan kita. Dalam kata lain, ada
korelasi antara jodoh dengan tingkat kedewasaan atau kematangan jiwa
kita. Hal itu akan dapat dirasakan pada saat kita berada di titik
tersulit dalam proses menemukan jodoh. Salah satunya bisa kita simak
dari kisah Rithah al-Hamqa.
Sebenarnya, kisah berliku seperti yang dilakoni Rithah al-Hamqa pada
satu sisi bisa dimaklumi. Pasalnya, wanita mana yang tidak ingin
menikah, lantas membina rumah tangga? Terlebih disaat usia kian merambat
tua. Namun, di sisi lain kadangkala ketergesa-gesaan manusia justru
membuka lebar jalan menuju kesesatan. Seperti langkah-langkah irasional
yang ditunjukkan ibu Rithah al-Hamqa dengan mendatangkan para ahli nujum
atau dukun.
Atas rumitnya persoalan jodoh bisa jadi lantaran kurang serius dan
kesungguhan kita dalam menjemput jodoh itu sendiri. Yang ada hanya
mengeluh dan menuntut kemurahan Allah Swt agar segera dipertemukan
dengan jodohnya. Nah, pada saat titik tertentu ketika sang jodoh belum
juga kunjung hadir, lahirlah kekecewaan, keterputusasaan dan kerisauan
yang mendalam, sehingga dari sanalah kosakata rumit itu muncul. Maka,
hampir bisa dipastikan bahwa kerumitan kita dalam memaknai kata jodoh
justru bermula dari diri kita sendiri. Bukan dari siapa pun. Pengharapan
yang terlalu tinggi,namun minus kesungguhan dalam berikhtiar. Atau
malah nihil.
Dibalik fenomena “telat nikah” -masih bertolak dari kisah Rithah
al-Hamqa– sebenarnya ada bukti-bukti kasih sayang Allah Swt yang bisa
dilihat dan dirasakan. Boleh jadi telatnya pernikahan atau sering
gagalnya proses ta’aruf, lantaran kadar kedewasaan kita belum cukup
untuk menghadapi belantara rumah tangga yang akan dibangun bersama
pasangan hidup. Dan Allah Swt Maha Tahu apa-apa yang ada di dir
hamba-Nya. Yakinlah, bahwa tanpa harus dikeluhkesahkan jika memang sudah
masanya tiba, maka jodoh itu pasti datang. (Tentu saja setelah
menyempurnakan ikhtiar, baik secara vertikal maupun horizontal).
Kedewasaan disini termasuk juga dalam memaknai kehadiran jodoh itu
sendiri. Memang, pilihan pertama kita berharap cepat mendapatkan jodoh.
Namun, jangan lupakan pula ada pilihan kedua. Yakni, lambat mendapatkan
jodoh, tapi suatu ketika pasti mendapatkannya di dunia. Atau pilihan
ketiga, dimana kita akan mendapatkan jodoh pada saat di akhirat kelak.
Apapun pilihan jodoh yang ditentukan Allah Swt, maka hal itu adalah hal
yang terbaik untuk kita.
Dari sinilah kita mengambil hikmah betapa kekhawatiran dan kerisauan
bahwa jodoh kita akan tertukar atau diambil orang adalah bukti tipisnya
keyakinan kita pada Allah Swt Yang Maha Pengatur, sehingga hal itu
berpengaruh pada sikap mental dan kerdilnya pola fikir kita. Dan diakui
atau tidak, kenyataan ini masih menjadi bagian dari diri kita.
Khususnya, yang sampai saat ini masih dalam masa menunggu kedatangan
jodohnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar